Selasa, 24 Mei 2011

Mahasiswa yang Tidak Pernah Pulang

Ini siang yang panjang, saya berselonjor manja dilantai setelah berlelah-lelah.
yah, mulai hari ini, inilah rumah baru saya. sebuah petak dua kali tiga berdinding beton, berpintu dan berjendela tunggal. Di belakang ada kamar mandi.
saya kemudian bangkit lagi, ada yang saya lupakan.
saya merogoh-rogoh kardus terakhir, saya temukan satu figura, saya tempelkan persis di depan meja belajar saya.
saya tersenyum-senyum sendiri. setidaknya walaupun jauh, saya masih bisa melihat mereka, keluarga.
dan besok adalah hari berbangga saya. pun bagaimana siap tidak siap, saya sudah digelari maha-siswa.

masa tanam : dua bulan.
pelan-pelan, saya bisa beradaptasi dengan yang saya khawatirkan.
bagaimana tidak khawatir? kakak kelas dari jauh-jauh sudah mengancam begini begitu tentang maha-siswa. semua harus diurus sendirilah, makan disiapkan sendirilah, ketika subuh datang bangun sendirilah, dan macam-macam.
sore ini, saya senyum-senyum. saya sudah punya banyak teman disini.
di kelas dan seputar rumah saya ini.
ibu Tuti, pemilik rumah ini sangat baik dengan saya. sekali sebulan di rumah utara lima meter dari rumah saya, keluarganya masak besar dan kemudian dibagikan pada pelanggan sewa.
Wedi adalah tetangga sebelah rumah yang baik. Dia dapat berbicara sekaligus mendengarkan. Usianya tiga tahun lebih tua daripada saya. Dia lebih sering meminjamkan buku-buku diktat, kadang mengajarkan persoalan kalkulus. Sementara, saya membantunya mencuil sebagian roti saya ketika akhir bulan. Dia kakak yang baik, tidak gengsian.
Toni tidak seperti yang saya nilai ketika melihat ia pertama kali. Toni adalah tetangga sebelah Wedi. Persetan soal perbedaan mata, kulit, ras, dan agama. Toni adalah Toni, saya adalah saya. Bagi Toni ya bagi Tono. Bagi saya ya bagi saya.
saya senang dengan lingkungan ini. yah, walaupun saya masih menyimpan heran, dengan rumah persis disebelah saya. Siapa disana?
ibu Tuti menyebutkan disana tinggal seorang maha-siswa juga. Namanya Anton. aktivis, pulang malam sekali pergi pagi sekali. dia tidak bawa rantang, caping, dan cangkul. hanya mata membara. itu saja.
dari celah pintu dan jendela saya temukan saya selebaran dan koran. bahkan, kadang nyasar ke jendela saya.
isinya mengenai reformasi.


masa tanam : sepuluh bulan
hari ini hari berbahagia, ya walaupun saya tidak bisa munafik aku pun sedih. Wedi angkat kaki dari lingkungan ini dengan toga di kopernya. sebagai hadiah perpisahan, dia mengenalkan kedua orang tuanya--yang sejak pertama kali datang seminggu yang lalu, mereka senyum-senyum melulu-- dan menyelipkan datang ke rumahnya ketika saya mendatangi Banyuwangi kelak. sayaiya iya saja.
kedua, Toni mendapat surat dari pak pos. dia juga akan angkat kaki dari sini. ketika menerima surat, Toni berlonjak girang. Suratnya dua lembar: kertas pengumuman dan tiket pesawat terbang. Dua bulan lagi dia akan berangkat ke utara untuk belajar kedokteran.
Pak Tuti--suami ibu Tut--berkelakar, "apa bedanya manusia sana dan sini?"
Toni dengan mata berbinar bilang, "tidak tahu,"
Pak Tuti sinis, "bukankah sama saja?"
Toni tetap dengan mata berbinar, "tentu beda,"
Pak Tuti nyolot, "memang disini tidak ada yang beda. Aku, kamu, wedi, dan semua beda,"

toni memang diam, tapi dua bulan kedepan kamarnya tetap kosong.

masa tanam : enam belas bulan
surat pertama toni datang. saya bisa membayangkan betapa sumringah senyumnya ketika tulis-tulis ini. saya juga ikut senang saja. pelan-pelan saya ikut bercita-cita jadi toni, walaupun saya bukan maha-siswa kedokteran. saya bisa saja.
surat dari wedi pun datang. ini kali kedua dan wedi belum dapat pekerjaan. aneh, wedi juga bakal calon peserta naik pesawat terbang terbiayayai--namun tetap toni yang berangkat--, tapi belum ada kabar puskesmas yang akan menerima kemampuannya.
wedi menulis,
aku tidak lama disini. karena pesismis mulai mengetok pintu.
aku bergemetar ngeri dan mulai malam ini aku baca buku hingga tiga pagi.

pukul tiga pagi, semuanya tenang. tidak ada suara apa-apa kecuali malam. ya, suara pintu dibuka dari tetangga sebelah rumahku yang belum pulang-pulang, juga tidak ada.

masa tanam : empat puluh bulan
kardus yang kubereskan beberapa windu lalu, aku buka kembali. aku simpan satu-satu perlengkapanku.
musim gugur, daun berjatuhan, pucuk bersemi kembali, selanjutnya demikian pula.
aku telah bertemu beberapa musim gugur,
ketika wedi lulus,
ketika toni berangkat,
dan kini aku yang mengalami musim gugur, padahal sebenarnya aku baru siap menghadapi musim semi. semuanya berlalu begitu cepat.
aku khawatir, setelah musim gugur selesai. tidak ada musim semi lagi.
seperti itulah wedi dan toni. musim gugur wedi dan toni panjang.
wedi pergi ke pelosok pulau untuk menerapkan ilmunya. undangannya buat saya, hanya dipenuhi oleh foto almarhum orang tuanya.
toni pergi dan kembali. saya bertemu dan bersalaman ketika saya diwisuda empat minggu yang lalu.
dia, yang bertemu dan besalama itu, bukan toni. toni telah pergi dan tak akan kembali.
saya takut, musim gugur saya juga selama mereka. bahkan, sampai mati saya, musim gugur tidak kunjung usai.

Anton, tetangga yang belum saya lihat mukanya, tetangga yang belum saya dengar suaranya, adalah musim gugur.
sang aktivis sedang mengalami musim gugur.
tentu ada ritual pergi.
musim gugur Anton dimulai ketika tumpangan idealismenya sudah berlainan.
kalau tidak salah, saya pernah melihat Anton--walaupun saya tidak yakin--media jalanan berubah jadi media parlemen.
ketika itulah musim gugur Anton dimulai.
Anton, musim gugur, mahasiswa yang tidak pernah pulang

2 komentar: